Dian Eriyany (12513362)
3PA08
PENDAHULUAN
Kepemimpinan lebih merupakan konsep yang berdasarkan akan adanya pengalaman. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Joseph C. Rost, 1993). Unsur kunci dari definisi ini dirangkum pada gambar dibawah ini. Kepemimpinan melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan signifikan dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (bawahan). Pengaruh (influence) dalam hal ini berarti hubungan di antara pemimpin dan pengikut sehingga bukan sesuatu yang pasif, tetapi merupakan suatu hubungan timbal balik dan tanpa paksaan. Dengan demikian kepemimpinan itu sendiri merupakan proses yang saling mempengaruhi.
Pemimpin mempengaruhi bawahannya, demikian sebaliknya. Orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut menginginkan sebuah perubahan sehingga pemimpin diharapkan mampun menciptakan perubahan yang signifikan dalam organisasi dan bukan mempertahankan status quo. Selanjutnya, perubahan tersebut bukan merupakan sesuatu yang diinginkan pemimpin, tetapi lebih pada tujuan (purposes) yang diinginkan dan dimiliki bersama. Tujuan tersebut merupakan sesuatu yang diinginkan, yang diharapkan, yang harus dicapai dimasa depan sehingga tujuan ini menjadi motivasi utama visi dan misi organisasi. Pemimpin mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai perubahan berupa hasil yangdiinginkan bersama. Kepemimpinan merupakan aktivitas orang-orang, yang terjadi di antara orang-orang, dan bukan sesuatu yang dilakukan untuk orang-orang sehingga kepemimpinan melibatkan pengikut (followers). Proses kepemimpinan juga melibatkan keinginan dan niat, keterlibatan yang aktif antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dengan demikian, baik pemimpin atau pun pengikut mengambil tanggung jawab pribadi (personal responsibility) untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
PENGERTIAN LEADERSHIP MENURUT PARA AHLI
1. George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17)
Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Ordway Tead (1929)
Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya.
3. Rauch & Behling (1984)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.
4. Katz & Kahn (1978)
Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.
5. Hemhill & Coon (1995)
Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktifitas-aktifitas suatu kelompok kesuatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal).
Kesimpulan
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Sumber : Fahmi, Irham .2012. Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi Cetakan Kesatu Penerbit Alfabeta. Bandung.
2. TEORI KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF
a. Teori X dan Teori Y dari Douglas Mc Gregor
Salah satu kontribusi yang paling banyak disebut dari para teoritikus Tipe 2 atau Teori Organisasi Klasik adalah tesis Douglas McGregor yang menyatakan bahwa ada dua pandangan tentang manusia: yang pertama dasarnya negatif – Teori X – dan yang lainnya pada dasarnya positif – Teori Y. Teori X dan Teori Y yang ia ajukan dalam memandang manusia (pegawai).
Setelah meninjau bagaimana manajer berhubungan dengan pegawai, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer seputar sifat manusia didasarkan pada kelompok asumsi tertentu dan ia cenderung memperlakukan pegawai berdasarkan asumsi-asumsi tersebut. Asumsi ini dapat bersifat negatif (Teori X) atau positif (Teori Y).
Di bawah Teori X ada empat asumsi yang dianut oleh para manajer:
Pegawai tidak menyukai pekerjaannya dan sebisa mungkin akan berupaya menghindarinya.
Karena pegawai tidak menyukai pekerjaannya, mereka harus diberi sikap keras, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman agar mau melakukan pekerjaan.
Pegawai akan mengelakkan tanggung jawab dan mencari aturan-aturan organisasi yang membenarkan penghindaran tanggung jawab tersebut.
Kebanyakan pegawai menempatkan rasa aman di atas faktor lain yang berhubungan dengan pekerjaan dan hanya akan memperlihatkan sedikit ambisi.
Kebalikan dari pandangan yang negatif terhadap manusia, McGregor menempatkan empat asumsi lain yang disebut Teori Y:
Para pegawai dapat memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang biasa sebagaimana halnya istirahat dan bermain.
Manusia dapat mengendalikan dirinya sendiri jika mereka punya komitmen pada tujuan-tujuan.
Rata-rata orang dapat belajar untuk menyetujui, bahkan untuk memikul tanggung jawab.
Kreativitas – yaitu kemampuan mencari keputusan yang terbaik – secara luas tersebar di populasi pekerja dan bukan hanya mereka yang . menduduki fungsi manajerial.
Implikasi dari Teori X dan Teori Y McGregor terhadap organisasi adalah bahwa asumsi-asumsi Teori Y lebih dapat diterima dan dapat menuntun manajer dalam mendesain organisasi dan memotivasi para pegawai. Tahun 1960-an antusiasme pekerja cukup tinggi untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan organisasi, penciptaan tanggung jawab dan tantangan pekerjaan, termasuk pembangunan hubungan kelompok-kelompok kerja yang lebih baik. Antusiasme ini, sebagian besar, diakibatkan oleh Teori Y dari McGregor.
b. Teori system empat dari Ransis Likert
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat system:
Sistem pertama (exploitive authoritative)
Sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik.Pemimpin sangat otokratis, mempunyai sedikit kepercayaan kepada bawahan, suka mengekplotasi bawahan, bersikap paternalistik memotivasi dengan memberi ketakutan dan hukuman-hukuman, diselang seling pemberian penghargaan yang secara kebetulan (occasional reward), hanya mau memperhatikan pada komunikasi yang turun ke bawah, dan hanya membatasi proses pengambilan keputusan di tingkat atas.
Sistem kedua (benevolent authoritative/otokrasi yang baik hati)
Sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitive terhadap kebutuhan karyawan.Mempunyai kepercayaan yang berselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah dan ketakutan berikut hukuman-hukuman, memperbolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan pendapat-pendapat, ide-ide dari bawahan, dan memperbolehkan adanya delegasi wewenang dalam proses keputusan, bawahan merasa tidak bebas untuk membicarakan sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaannya dengan atasan.
Sistem ketiga (manajer konsultatif)
Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan.Mempunyai sedikit kepercayaan pada bawahan, biasanya dalam perkara kalau ia memerlukan informasi, ide atau pendapat bawahan; masih menginginkan melakukan pengendalian atas keputusan-keputusan yang dibuatnya; mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan hukuman yang kebetulan; dan juga berkehendak melakukan partisipasi; menetapkan dua pola hubungan komunikasi, iaitu ke atas dan ke bawah; membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat bawah; bawahan merasa sedikit bebas untuk membicarakan sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaan bersama atasan.
Sistem keempat (partisipative group/kelompok partisipatif)
Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan.Mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahan; dalam setiap persoalan selalu mengandalkan untuk mendapatkan ide-ide dan pendapat-pendapat lainnya dari bawahan, dan mempunyai niatan untuk mempergunakan pendapat bawahan secara konstruktif; memberikan penghargaan yang bersifat ekonomis dengan berdasarkan partisipasi kelompok dan keterlibatannya pada setiap urusan terutama dalam penentuan tujuan bersama dan penilaian kemajuan pencapaian tujuan tersebut; mendorong bawahan untuk ikut bertanggung jawab membuat keputusan, dan juga melaksanakan keputusan tersebut dengan tanggung jawab yang besar; bawahan merasa secara mutlak mendapat kebebasan.
c. Teori of leadership Pattern Choice dari Tannenbaum & Scmid.
Perilaku tersebut bertitik tolak daridua pandangan dasar:
1. berorientasi pada pemimpin ( bidang pengaruh pimpinan)
2. berorientasi pada bawahan (bidang pengaruh kebebasan bawahan).
Dari dua pandangan dasar tersebut selanjutnya dikembangkan tujuh model gaya kepemimpinan dalam pembuatan keputusan yang dilakukan pemimpin.
1) pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (teiling)
2) pemimpin menjual dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling)
3) pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan
5) pemimpin memberikan keputusan tentatif, dan keputusan masih dapat diubah
6) pemimpin memberikan problem dan minta saran pemecahannya pada bawahan (consulting)
7) pemimpin menentukan batasan-batasan dan minta kelompok membuat keputusan
8) pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas_batas yang di tentukan (joining).
Menurut Tannenbaum dan Schmidt dalam pemilihan gaya kepemimpinan yang efekti faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang pemimpin yaitu:
Kekuatan yang ada pimpinan: meliputi latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan pribadi, pengetahuan, nilai-nilai hidup yang dihayati, kecerdasan, pengalaman.
Kekuatan yang ada bawahan: tingkat kebutuhan bawahan akan tanggung jawab dan kebebasan bertindak dalam pembuatan keputusan.
Tingkat pengetahuan dan berpengalaman yang dimiliki bawahan dalam bekerja.
d. Modern Choice Approach to Participation yang memuat Decicion Tree for Leadership dari Vroom & Yetton.
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara
lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3. Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik
4. Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan
e. Teori kepeimpinan dari Konsep Contingency Theory of Leadership dari Fiedler
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73).
Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:
1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.
2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi / lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority).
b. Struktur tugas (task structure)
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.
c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).
Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.
f. Teori kepemimpinan dari Konsep Path Goal Theory
Path-Goal Theory atau model arah tujuan ditulis oleh House (1971) menjelaskan kepemimpinan sebagai keefektifan pemimpin yang tergantung dari bagaimana pemimpin memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan untuk pencapaian tujuan para pengikutnya. Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971).
1. Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
Supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat)
2. Directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedurdan petunjuk yang ada),
3. Participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan)
4. Achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Contohnya dalam kehidupan sehari-hari : Seorang direktur akan mengadakan rapat terlebih dahulu jika akan menjalin hubungan kerja dengan perusahaan lain. Sehingga dengan demikian sang direktur akan meminta bawahannya untuk mengadakan rapat dan membahas tentang apa yang akan dipresentasikan di depan kliennya. Dan setelah itu sang direktur pun akan memutuskan dan memberikan perintah kepada bawahannya untuk bekerja semaksimal mungkin akan pekerjaan tersebut dan sesuai apa yang telah diperintahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, S.P & Judge, T.A.2008. Perilaku organisasi. Jakarta : Salemba Empat.
Purwanto, Djoko.2006. Komunikasi Bisnin. Jakarta : Erlangga.
Sutikno, R.J.2007. The power of empathy in leadership. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ungirwalu, M.S.(2012). Kepemimpinann partsipatif. Jurnal Ilmu Administrasi dan Sosial. Vol 1 No 1 April 2012. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNMUS.